Judul Buku : Krisis Kebudayaan
Penulis : Saini K.M.
Penerbit : Kelir, Bandung
Tahun terbit : 2004, April
Tebal Buku : xvi, 130 halaman
Saini K.M. dikenal dengan singkatan SKM adalah seorang budayawan dan seniman yang rendah hati, beliau juga mantan Direktur Kesenian, Dirjen Kebudayaan, Depdikbud. Namun di balik kerendahan hatinya terdapat ilmu dan pengetahuan yang luas, tidak heran kalau almarhum Arifin C. Noor pernah berkata, “Saini ini benar-benar ensiklopedi”.
Buku “Krisis Kebudayaan” ini merupakan kumpulan pilihan sepuluh esai yang pernah ditulis SKM di media massa atau makalah dalam seminar dan diskusi. Kumpulan ini tidak hanya ungkapan partisipasi penulis, tetapi juga ajakan kepada semua pihak terlibat kepada masalah bersama ini. SKM merasa masalah yang diapungkan dalam tulisannya bukan apa-apa dibanding jumlah dan bobot masalah yang sebenarnya kita hadapi. Tulisannya mudah dipahami, dimulai dengan identifikasi masalah, pembahasan dan kesimpulan. Pemilihan judul-judul tulisan mencakup agama dan keberagamaan, jati diri bangsa, krisis kebudayaan, kemanusiaan, dan kota sebagai organisme. Kelemahan dalam buku ini seperti umumnya terdapat dalam buku kumpulan tulisan seorang penulis adalah adanya pengulangan gagasan dalam bab lain.
Tulisan yang paling menarik adalah mengenai keberagamaan dan kebudayaan. Agama dan kebudayaan adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Satu sisi adalah uluran kasih Yang Ilahi, sisi lain adalah perjuangan manusia dalam ruang dan waktu sejarahnya. Menurut SKM penyampaian agama melalui bahasa sudah mengandaikan kebudayaan. Dengan hakikatnya yang tidak berubah, maka agama dan keberagamaan di dalam ruang (geografis) dan waktu (historis) yang berbeda harus menyesuaikan diri kepada kehadiran kebudayaan yang berbeda pula dengan demikian diharapkan tidak terjadi resistensi.
Kebudayaan adalah upaya atau hasil upaya manusia di dalam mengolah lingkungan demi keselamatan (survive) dan kesejahteraannya (growth). Lingkungan jasmani dan rohani senantiasa berubah dan manusia harus menjawab tantangannya. Terungkaplah sebuah hukum yang disebut hukum besi kebudayaan yaitu, “sifat hakiki dari kebudayaan adalah perubahan”. Kemampuan mengidentifikasi dan memberi jawaban yang tepat bagi tantangan itu biasanya disebut “kreativitas”. Inilah intisari kebudayaan.
Berbicara tentang SDM sebagai aset dan modal berarti bicara tentang etika, etos, dan kreativitas. Hal ini tidak hanya bisa dimiliki begitu saja, tetapi harus melalui pembelajaran dan proses pewarisan. Tiga jalur yang dapat digunakan adalah jalur informal (keluarga), non formal (organisasi-organisasi kebudayaan, museum, galeri, perpustakaan, cagar budaya, dll), dan formal (sekolah). Tentu proses ini tidaklah sederhana dan murah, tetapi begitu lama dan dalamnya proses kerusakan nilai-nilai dasar di masyarakat selama tiga dasa warsa, maka tak ada jalan lain Pendidikan adalah jalan keluar utama dari multi krisis yang dialami bangsa kita. SKM mencontohkan dua bangsa yang bangkit dari keterpurukan PD II yaitu Jepang yang mengambil 50% dari Anggaran Belanja Negara (ABN) untuk pendidikan. Negara lainnya adalah Jerman yang meng’gratis’kan pendidikannya dari TK hingga perguruan tinggi. Hasilnya dua negara ini termasuk negara maju.
Tata nilai yang tersusun selama tiga dasawarsa menampilkan wajah orde baru yang menakutkan, tetapi di lain pihak disadari bahwa itu rapuh dan menyimpan bom waktu. Orde baru tumbang oleh situasi ekonomi global yang tidak memberi ruang pada militerisme dan kapitalis-kapitalis palsu. Sedang Rezim Reformasi belum siap secara ‘ideologis’ dan budaya. SKM mengusulkan untuk membentuk tata nilai alternatif (budaya tanding) terhadap orde baru. Jika tidak maka dikhawatirkan bangsa ini terpecah-pecah atau kembali kepada kediktatoran.
Contoh kasus negara Spanyol yang berhasil melalui masa krisis setelah kematian diktator Franco tahun tujuh puluhan tidak terjadi chaos, karena adanya kesadaran para pemimpin bangsa tentang perlunya ‘ideologi’ baru yang demokratis sebagai pengganti fasisme. Menurut SKM keberhasilan mereka karena ada tiga hal. Pertama Spanyol adalah negara fasis terakhir di Eropa yang dikelilingi negara-negara yang sudah mantap demokrasinya. Kedua adalah kenegarawanan Adolfo Suarez yang menjadi perdana menteri paska Jenderal Franco. Ketiga bangsa Spanyol memiliki martabat sebagai warga negara bukan sebagai massa, yang percaya kepada proses-proses demokrasi dan tidak cenderung bertindak ekstra-parlementer.
(Asep Suryana, peminat kebudayaan tinggal di Bandung)
Penulis : Saini K.M.
Penerbit : Kelir, Bandung
Tahun terbit : 2004, April
Tebal Buku : xvi, 130 halaman
Saini K.M. dikenal dengan singkatan SKM adalah seorang budayawan dan seniman yang rendah hati, beliau juga mantan Direktur Kesenian, Dirjen Kebudayaan, Depdikbud. Namun di balik kerendahan hatinya terdapat ilmu dan pengetahuan yang luas, tidak heran kalau almarhum Arifin C. Noor pernah berkata, “Saini ini benar-benar ensiklopedi”.
Buku “Krisis Kebudayaan” ini merupakan kumpulan pilihan sepuluh esai yang pernah ditulis SKM di media massa atau makalah dalam seminar dan diskusi. Kumpulan ini tidak hanya ungkapan partisipasi penulis, tetapi juga ajakan kepada semua pihak terlibat kepada masalah bersama ini. SKM merasa masalah yang diapungkan dalam tulisannya bukan apa-apa dibanding jumlah dan bobot masalah yang sebenarnya kita hadapi. Tulisannya mudah dipahami, dimulai dengan identifikasi masalah, pembahasan dan kesimpulan. Pemilihan judul-judul tulisan mencakup agama dan keberagamaan, jati diri bangsa, krisis kebudayaan, kemanusiaan, dan kota sebagai organisme. Kelemahan dalam buku ini seperti umumnya terdapat dalam buku kumpulan tulisan seorang penulis adalah adanya pengulangan gagasan dalam bab lain.
Tulisan yang paling menarik adalah mengenai keberagamaan dan kebudayaan. Agama dan kebudayaan adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Satu sisi adalah uluran kasih Yang Ilahi, sisi lain adalah perjuangan manusia dalam ruang dan waktu sejarahnya. Menurut SKM penyampaian agama melalui bahasa sudah mengandaikan kebudayaan. Dengan hakikatnya yang tidak berubah, maka agama dan keberagamaan di dalam ruang (geografis) dan waktu (historis) yang berbeda harus menyesuaikan diri kepada kehadiran kebudayaan yang berbeda pula dengan demikian diharapkan tidak terjadi resistensi.
Kebudayaan adalah upaya atau hasil upaya manusia di dalam mengolah lingkungan demi keselamatan (survive) dan kesejahteraannya (growth). Lingkungan jasmani dan rohani senantiasa berubah dan manusia harus menjawab tantangannya. Terungkaplah sebuah hukum yang disebut hukum besi kebudayaan yaitu, “sifat hakiki dari kebudayaan adalah perubahan”. Kemampuan mengidentifikasi dan memberi jawaban yang tepat bagi tantangan itu biasanya disebut “kreativitas”. Inilah intisari kebudayaan.
Berbicara tentang SDM sebagai aset dan modal berarti bicara tentang etika, etos, dan kreativitas. Hal ini tidak hanya bisa dimiliki begitu saja, tetapi harus melalui pembelajaran dan proses pewarisan. Tiga jalur yang dapat digunakan adalah jalur informal (keluarga), non formal (organisasi-organisasi kebudayaan, museum, galeri, perpustakaan, cagar budaya, dll), dan formal (sekolah). Tentu proses ini tidaklah sederhana dan murah, tetapi begitu lama dan dalamnya proses kerusakan nilai-nilai dasar di masyarakat selama tiga dasa warsa, maka tak ada jalan lain Pendidikan adalah jalan keluar utama dari multi krisis yang dialami bangsa kita. SKM mencontohkan dua bangsa yang bangkit dari keterpurukan PD II yaitu Jepang yang mengambil 50% dari Anggaran Belanja Negara (ABN) untuk pendidikan. Negara lainnya adalah Jerman yang meng’gratis’kan pendidikannya dari TK hingga perguruan tinggi. Hasilnya dua negara ini termasuk negara maju.
Tata nilai yang tersusun selama tiga dasawarsa menampilkan wajah orde baru yang menakutkan, tetapi di lain pihak disadari bahwa itu rapuh dan menyimpan bom waktu. Orde baru tumbang oleh situasi ekonomi global yang tidak memberi ruang pada militerisme dan kapitalis-kapitalis palsu. Sedang Rezim Reformasi belum siap secara ‘ideologis’ dan budaya. SKM mengusulkan untuk membentuk tata nilai alternatif (budaya tanding) terhadap orde baru. Jika tidak maka dikhawatirkan bangsa ini terpecah-pecah atau kembali kepada kediktatoran.
Contoh kasus negara Spanyol yang berhasil melalui masa krisis setelah kematian diktator Franco tahun tujuh puluhan tidak terjadi chaos, karena adanya kesadaran para pemimpin bangsa tentang perlunya ‘ideologi’ baru yang demokratis sebagai pengganti fasisme. Menurut SKM keberhasilan mereka karena ada tiga hal. Pertama Spanyol adalah negara fasis terakhir di Eropa yang dikelilingi negara-negara yang sudah mantap demokrasinya. Kedua adalah kenegarawanan Adolfo Suarez yang menjadi perdana menteri paska Jenderal Franco. Ketiga bangsa Spanyol memiliki martabat sebagai warga negara bukan sebagai massa, yang percaya kepada proses-proses demokrasi dan tidak cenderung bertindak ekstra-parlementer.
(Asep Suryana, peminat kebudayaan tinggal di Bandung)
bisa di dpat dimana buku ini kak???
BalasHapusDapat diperoleh di sini:
Hapushttp://www.amartapura.com/view_book.php?id=08012001&bookid=18336
atau di sini:
http://palasarionline.com/detail.php?kode=STI0015