Judul Asli : Kenang-kenangan: Riwajat-hidup Saja dan Keadaan di Djakarta dari Tahun 1882 sampai Sekarang. Djakarta, 1959
Penerbit : Masup Jakarta
Tahun terbit : 2007, Desember, cetakan ke-2
Tebal Buku : xx, 132 halaman
ISBN : 979-25-7291-0
Potong thauchang resmi tidak diijinkan, tetapi tidak terlarang.
(hal. 58)
Buku ini dapat dikatakan otobiografi. Disusun dengan mengandalkan ingatan yang masih terpatri di usia tua bukan dari buku catatan harian. Jadi pembaca dibawa dari satu peristiwa ke peristiwa lain yang mungkin tidak berhubungan, meskipun berusaha tampil kronologis.
Pada terbitan di era abad ke-21 ini selain judul diganti begitu pula ejaan, tetapi gaya bahasa masih tetap dipertahankan dalam dialek Melayu-Betawi yang biasa digunakan penulis. Contoh, “Daun kangkung baik sekali, sebab mengandung waja dan bikin gampang dan enak tidur.Oom kalau malam mendusin susah pulas kembali, Oom bersuit lagu-lagu yang sudah hampir lupa, dan menghitung atau mengingat peristiwa yang menyenangkan pun bisa bikin lekas pulas”.
Dari buku semacam ini kita dapat mengetahui situasi masa lalu lebih lengkap. Bandingkan dengan sejarah yang disajikan dalam buku ajar sekolah yang berkutat pada tokoh-tokoh sejarah dan tahun peristiwa. Dari buku Oom Tio (lahir 1877) ini saya dapat mengetahui akibat dari letusan Gunung Krakatau yang letaknya di Selat Sunda dan meletus pada 26-28 Agustus 1883 terhadap kota Batavia (Jakarta). Misalnya orang-orang memperkuat bantaran kali di depan Pasar Baru karena air meluap akibat tsunami.
Pada masa kolonial penduduk Tionghoa digolongkan sebagai orang asing oleh Belanda. Karena cukup banyak maka harus diatur serta diangkatlah pengurus dari kalangan Tionghoa dengan jabatan Mayor, Kapten, dan Letnan. Sebelum abad ke-20 laki-laki Tionghoa harus menggunakan kuncir (rambut yang dijalin panjang) yang disebut thaucang karena perintah dari Dinasti Qing dari Manchuria yang menguasai Tiongkok. Karena sudah menuju era modern perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (didirikan tahun 1900) mengirim telegram kepada pemerintah Tjeng Tiau di Peking (Beijing) bila mereka diperbolehkan memotong thaucang. Jawaban yang diperoleh seperti tertera di permulaan resensi ini.
Sebagai orang asing perjalanan dari suatu daerah ke daerah lain pun dibatasi dan diharuskan mempunyai surat jalan dari kantor karesidenan (passenstelsel). Bukan hanya itu di setiap karesidenan yang dilalui dan dituju pun harus lapor. Jaman sekarang pun kadang masih ada kebijakan seperti ini untuk warga negara sekalipun. Passenstelsel berlaku hingga 1920.
Peristiwa-peristiwa yang mirip kadang berulang. Kalau di Jakarta sekarang sering terjadi wabah demam berdarah, maka dahulu di Batavia terjadi wabah kolera yang banyak membawa kematian. Bahkan karena untuk mengubur tidak cukup waktu dan tenaga, maka peti-peti mati dibiarkan di sawah dekat jalan untuk dikuburkan esok harinya. Keluarga penulis buku ini pun mengungsi ke Bogor, Sukabumi, dan Bandung begitu berpindah-pindah karena penyakit ini menyebar seiring pergerakan penduduk. Tidak disebutkan pada tahun berapa peristiwa ini dialaminya.
Kita bandingkan lagi Jakarta sekarang dan Batavia dulu. Sekarang Jakarta sedang sibuk-sibuknya membuat busway sebagai angkutan masal setelah Kereta Rel Listrik Jabodetabek tidak lagi memadai. Di Batavia tahun 1869 dibangun tramway (trem kuda) yaitu kereta panjang yang berjalan di atas rel dan ditarik tiga sampai empat ekor kuda, dapat memuat sampai 40 orang. Sebagai tanda kusir membunyikan terompet. Trem ini mulai beroperasi dari pukul lima pagi hingga pukul delapan malam dan tiap lima menit lewat satu trem. Hanya tidak diketahui apakah jadwal ini selalu tepat atau tidak. Jurusannya adalah Kota Intan-Harmoni-Tanah Abang dan Kota Intan-Harmoni-Jatinegara. Kemudian Jalur Kota Intan-Jatinegara diadakan trem uap dan awal abad ke-20 ada jalaur lain yang menggunakan trem listrik. Trem ini berakhir pada awal 1960-an. Sayang! Di beberapa kota tua di Eropa trem listrik masih dipertahankan.
Dari buku ini selain bernostalgia bagi yang mengalami masa-masa tersebut, bagi generasi sekarang dapat diambil pelajaran. Penerbit Masup dengan semboyan “Kenali Jakartamu” banyak menerbitkan buku-buku tentang Jakarta tempo dulu. Diharapkan dari usaha-usaha seperti ini penduduknya mencintai, menjaga, memelihara dan melestarikan dengan semestinya dan menjadikan Jakarta lebih baik. Tak akan ada sekarang kalau tidak ada dahulu. Sekarang ini hampir setiap hari ada demonstrasi di Jakarta, beberapa mengakibatkan rusaknya fasilitas umum yang dibangun dengan uang rakyat. Sadarlah!
resensinya bagus sekali :)
BalasHapusTerima kasih. Mohon maaf saya belum menambah lagi resnsinya.
BalasHapusbuku ini kalo boleh tau gimana cara dapatinnya?
BalasHapusbisa beli di bukabuku.com http://www.bukabuku.com/browse/bookdetail/8501/keadaan-jakarta-tempo-doeloe-sebuah-kenangan-1882-1959.html
BalasHapusatau kalau Anda di Jakarta sampai tanggal 24-11-2012 ada pameran buku di Istora Bung Karno pasti ada buku ini. Salam.