Adsense

18 Sep 2008

NGABUBURIT


Judul Buku : Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe)

Penulis : Haryoto Kunto

Penerbit : Granesia, Bandung

Tahun terbit : 1996, Cetakan pertama

Tebal Buku : viii, 114


Buku “Ramadhan di Priangan” ini sesungguhnya merupakan kumpulan beberapa artikel yang ditulis alm. Haryoto Kunto (Kuncen Bandung) di harian Pikiran Rakyat. Saya sendiri membuat klipping dari tulisan tulisan beliau, namun karena sudah diterbitkan dalam bentuk buku akhirnya membeli buku karena mudah dalam penyimpanan dan perawatannya. Ketika Haryoto Kunto masih hidup banyak orang menunggu tulisan beliau walau terkadang ada pengulangan mengenai suatu hal. Sebagian ingin mengenang masa lalu, sebagian lagi yang masih muda ingin mengetahui bagaimana Bandung atau Priangan masa lalu.


Meskipun buku diberi judul “Ramadhan di Priangan”, tetapi yang dikisahkan hampir seluruhnya peristiwa atau kebiasaan yang dilakukan muslimin di bulan Ramadhan dan di hari Lebaran di kedua kota Bandung dan Cibatu-Garut. Bandung sebagai kota kelahiran Haryoto Kunto (lahir tahun 1940) dan Cibatu tempat ayahnya pernah bertugas (1937-1942). Jadi selain peristiwa-peristiwa yang dialami penulisnya juga ditambah dari beberapa literatur lainnya mengenai kejadian tempo doeloe. Secara administratif wilayah Priangan sekarang adalah kota Bandung, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, dan Banjar, tetapi abad ke-19 Cianjur pernah menjadi ibukota Karesidenan Priangan.


Beberapa hari menjelang Ramadhan biasanya warga kampung selain mengecat rumah dan pagar juga bergotong royong membersihkan kampung. Kemudian membersihkan kuburan kerabatnya yang telah meninggal. Sedangkan “nadran” atau berziarah dilakukan pada hari lebaran atau sesudahnya. Hari menjelang Ramadhan ini juga disebut “munggah” asal kata unggah yang artinya “naik” atau “meningkat” jadi Ramadhan saatnya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Pada saat munggah umumnya keluarga memasak makanan yang enak melebihi hari-hari biasa karena dalam sebulan akan berpuasa tidak boleh makan dan minum di siang hari. Biasanya masakan enak ini masih dapat dinikmati hingga sahur hari pertama puasa. Seringkali pada saat-saat seperti ini ada pertanyaan, “Geus boga naon jang munggah?” (“Sudah punya apa untuk munggah?)


Menjelang bulan Puasa seringkali diadakan makan bersama. Makan bersama ini dikenal dengan istilah “botram”. Bagi keluarga yang tidak mau repot memasak, maka tinggal mengajak keluarga makan di restoran. Misalnya keluarga penulis buku ini diajak botram ke Pasar Baru Bandung yang terletak di Pangeran Sumedangweg atau sekarang Jl. Oto Iskandardinata. Di sana dijual berbagai jenis kebutuhan termasuk aneka masakan dan jajanan. Sekitar tahun 1935 Pasar Baru Bandung dinyatakan pasar paling bersih dan teratur di seluruh Pulau Jawa. Selain di rumah makan ada juga yang melakukan botram di tengah sawah, taman kota, atau tempat-tempat lainnya yang indah. Di halaman 29 ada sebuah potret yang mengisahkan botram di sebuah taman kota, mungkin bagi kita sekarang aneh melihatnya, mereka ada yang mengenakan sarung dan baju semacam jas tutupan dengan memakai ikat kepala atau peci dan yang kegerahan menggantungkan bajunya di batang pohon.


Pada malam di bulan Ramadhan dilakukan salat tarawih di mesjid-mesjid. Setelah salat selesai biasanya bedug dan kohkol ditabuh bertalu-talu dan berirama. Saya pun mengalaminya hingga akhir tahun tujuh puluhan. Tradisi ini di kota berangsur-angsur hilang seiring dengan mesjid-mesjid sudah tidak memiliki atau tidak memerlukan lagi bedug dan kohkol. Kadang-kadang ada saja anak-anak nakal menyembunyikan pemukul bedug atau ada yang meletakan di kaki temannya yang sedang sujud sehingga sewaktu duduk setelah sujud terganjal pemukul bedug.


Yang khas di bulan Ramadhan adalah ngabuburit atau menunggu waktu buka puasa. Di kota Bandung misalnya ada yang main ke Alun-alun atau taman lainnya yang tersebar di berbagai tempat. Pernah menjadi mode ngabuburit diisi dengan acara mandi sore di sumur bor yang dibangun pada dasa warsa pertama abad ke-20. Adapun lokasinya di depan Kantor Pos (Alun-alun, di belakang Gubernuran, Ciroyom, di simpang Jln. Merdeka-Riau, dan di depan Sakola Menak, Tegalega. Di sana disediakan pula tempat pemandian umum yang terpisah untuk pria dan wanita. Sampai akhir tahun 1950-an ngabuburit bisa juga diisi dengan paparahuan di Situ Aksan yang kini sudah menjadi pemukiman. Bosan dengan acara di atas boleh juga merintang-rintang waktu dengan nonton di bioskop. Bunyi petasan mewarnai bulan Puasa, hingga akhir 1970-an masih terdengar bunyi petasa di mana-mana. Alhamdulillah setelah dilarang menjalankan puasa jadi lebih khusyu.


Mesjid Agung di sebuah kabupaten umumnya berada di sebelah barat Alun-alun (lapangan terbuka) sebagai pusat spiritual, sedangkan pendopo kabupaten berada di sebelah selatan atau utara melambangkan pusat kebudayaan dan sosial kemasyarakatan. Ketika kekuasaan penjajah telah masuk maka di seberang pendopo didirikan Loji atau Benteng Kompeni. Di Bandung Loji kemudian berubah menjadi kediaman Asisten Residen yang melambangkan kekuasaan, sedangkan pasar sebagai pusat ekonomi. Pasar pertama di kota Bandung setelah pindah dari Dayeuh Kolot tahun 1811 adalah Pasar Ciguriang yang terletak di antara Jalan Kepatihan dan Jalan Kautamaan Istri sekarang. Pasar ini habis terbakar tahun 1842.


Atap Mesjid Agung Bandung pada pertengahan abad ke19 memiliki atap tumpang tiga model nyungcung sehingga disebut Bale Nyungcung. Di sini Haji Hasan Mustapa pernah duduk sebagai Hoofd Panghulu (Pemimpin Umat islam) sekira awal abad ke-20. Hoofd Panghulu setara dengan bupati hanya saja berbeda urusan. Hoofd Panghulu lain dan terkenal adalah Raden Mohamad Moesa sebagai Hoofd Panghulu Limbangan (1822-1886). Keduanya juga dikenal sebagai sastrawan. Pada abad ke-19 Mesjid Agung mencapai masa kemakmuran. Pembayaran zakat fitrah dan maal (harta) disetor ke mesjid ini dari berbagai distrik dibawah “Negorij Bandoeng”. Konon halaman dan serambi mesjid digunakan untuk menyimpan hasil bumi seperti padi, ketela, kopi bahkan Alun-alun pun dijadikan “tempat parkir” ternak sebagai pembayaran zakat. Dengan demikian setiap hari diadakan buka bersama terutama untuk para fakir dan miskin serta mualaf yang diambil dari pembayaran zakat yang tidak habis disalurkan kepada yang berhak dalam setahun. Hal ini pernah mendapat teguran dari Asisten Residen yang menyangka baitul maal digunakan untuk pesta makan-makan.


Buku kecil ini memang tidak berisi semua kebiasaan di bulan Ramadhan di tatar Priangan tempo dulu sesuai judulnya, karena ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan di koran. Bukan buku tentang antrofologi tetapi mengenai kenangan masa lalu. Bahkan seingat saya ada tulisan Haryonto Kunto seputar Ramadhan tidak masuk dalam buku ini. Misalnya kisah lucu berikut: Sebagai penanda buka puasa tiba dibunyikan meriam di halaman pendopo kabupaten Bandung (kini tempat kediaman walikota) anak-anak suka menonton dengan melongokan kepala lewat lubang tembok pagar yang berupa ornamen sisik ikan. Pada waktu meriam berbunyi mereka kaget dan secara refleks menarik kepalanya, tentu saja kepalanya kena tembok pagar. Benjol deh. Namun dengan ditambahkan potret-potret masa lalu membaca buku ini semakin nikmat saja.


Kebiasaan ekstensif di bulan Ramadhan yang tidak diceritakan buku ini adalah kegiatan saling mengirim makanan kepada tetangga dan keluarga pada 10 hari terakhir. Menurut pengamatan saya setelah ulama secara persuasif menganjurkan untuk tidak memaksakan kebiasaan ini, maka di perkotaan sudah tidak dilakukan lagi, tetapi di desa masih ada yang melakukannya, kepada yang dekat dikirim dengan nampan atau baki, kalau yang jauh makanan dibawa menggunakan rantang. Di desa pula dulu kalau bulan Puasa pada malam hari orang sering membunyikan lodong bahkan “perang” antar kampung. Lodong yaitu meriam yang terbuat dari satu ruas bambu besar yang salah satu ujungnya dilubangi untuk memasukkan karbit dan air. Jika campuran air dan karbit sudah menghasilkan uap maka uapnya disulut pakai api, buuuuuummm!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar