Judul Buku : Semerbak Bunga di Bandung Raya
Penulis : Haryoto Kunto
Penerbit : Granesia
Tahun terbit : 1986, April, cetakan ke-I
Tebal Buku : x, 1116 halaman
“Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke
aya ma baheula aya tu ayeuna
hanteu ma baheula hanteu tu ayeuna
hana tunggak hana watang
tan hana tunggak tan hana watang
hana ma tunggulna aya tu catangna.”
(Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy, SBBR hal.v)
Buku dengan judul di atas diterbitkan setelah karya besar lainnya dari almarhum Haryoto Kunto “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”. Ketika saya membeli buku "Semerbak Bungan di Bandung Raya" pada suatu pameran buku di bekas Toko De Zon di Jl. Asia Afrika Bandung tahun 1990-an awal, harganya Rp 20.000. Kini di toko buku antik harganya mencapai Rp 680.000,-
Buku SBBR bukan hanya berisi nostalgia masa lalu, tetapi juga berisi tentang perencanaan kota Bandung. Para pengambil keputusan sangat berkepentingan dengan hal ini. Begitu pula penduduk yang cerdas semestinya memahami asal-usul, seluk-beluk kotanya, dengan demikian dapat hidup selaras dengan lingkungan hidupnya. Dataran tinggi Bandung 30 – 25 juta tahun lampau masih berada di bawah permukaan laut, bukan hanya Bandung bahkan seluruh Pulau Jawa (awal Miosen). Salah satu buktinya adalah pegunungan kapur Tagog Apu di Padalarang. Pada masa Miosen akhir (25 -14 juta tyl.) pantai utara P. Jawa sudah terbentuk di Pangalengan, dataran tinggi Bandung masih di bawah laut. Sekitar 6000 tahun yang lalu dataran tinggi bandung menjadi sebuah danau. Peristiwa itu kemungkinan disaksikan oleh penduduk purba Bandung, karena di daerah yang diperkirakan pinggiran danau ditemukan bekas-bekas peninggalan mereka. Sayang beberapa artefak tidak dapat diselamatkan.
Buku ini bukanlah sejarah dengan kronologisnya, tetapi ramuan antara kondisi tempo dulu dan kondisi saat buku itu dibuat. Tentu Anda juga bisa membandingkan dengan kondisi saat ini setelah 22 tahun buku SBBR ini terbit pertama kalinya. Maaf saya belum sempat melihat edisi 2008, apakah ada revisi oleh orang lain atau tidak. Seandainya Kuncen Bandung masih hidup saya kira tentu akan melakukannya.
Bandung sebagai kota jajanan ternyata sudah dari jaman dulu. Bahkan sekarang sudah menjadi “Kota Fatory Outlet”. Makanan tradisional seperti peuyeum, dawet, cendol, oncom, soto dari Bandung sudah lama dikenal. Bahkan di Jakarta dan beberapa kota lainnya sekarang banyak dijual dengan merek Bandung seperti Siomay Bandung, Cendol Bandung, Martabak Bandung, meskipun orang yang dagang maupun resepnya tidak berbau Bandung sama sekali, tetapi kata “Bandung” dapat lebih menjual. Berbagai julukan kota bandung yang positif tidak terlepas dari kreativitas warganya. Mengenai sandang toko-toko di Jalan Braga merupakan trend setter fesyen jaman baheula. Tetapi kemasyhuran jalan itu sulit dibangkitkan kembali. Sudah beberapa kali dicoba. Begitu pula Pekan Dagang Tahunan yang dimulai tahun 1920 serupa Pekan Raya Jakarta sekarang hanya meninggalkan Gedung Jaarbeurs yang sempat digunakan dalam trade fair tersebut.
Tetapi bagaimana kota Bandung mendapat julukan Kota Kembang? Ini banyak versi mungkin salah satu benar, mungkin juga beberapa benar. Apakah dahulu penduduk kota Bandung benar-benar gemar menanam bunga? Yang jelas ada masanya setiap pagi dari Bandung dikirim bungan untuk kantor Gubernur Jenderal di Batavia melalui kereta api. Ataukah sebutan kembang personifikasi untuk mojang-mojang Bandung? Bagi orang luar Bandung buktikan saja “Come and stay in Bandung”. Yang berkonotasi negatif juga ada yaitu sebutan bagi noni-noni yang menghibur para Raja Gula yang sedang pusing dalam suatu konferensi di jaman kolonial. Entahlah.
Buku-buku Haryoto Kunto begitu pula tulisan-tulisannya di koran Pikiran Rakyat menjadi inspirasi dan meningkatkan partisipasi warga kota untuk berperan dalam pelestarian dan pembangunan kota Bandung. Banyak orang menjadi tahu perjalanan kota ini dan bagaimana seharusnya ke depan. Sekarang dapat ditemukan berbagai perkumpulan pecinta pelestarian kota Bandung (heritage society) yang dimotori anak anak muda, seperti Bandung Trails, Mahanagari, Aleut, dll. mendampingi yang sudah ada dan sangat serius seperti Bandung Heritage dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.
Saya tertarik dengan bukunya Mbah Harjoto Kunto tentang Bandung. Sayang harganya tidak terjangkau dompetku. Salam dari RINDU BANDUNG http://yadis9.wordpress.com
BalasHapusSalam kenal Kang Yadi eh Pak Guru. Muhun Semerbak Bunga di bandung Raya edisi enggal paling henteu Rp 380.000,- Kapungkur sim kuring meser mung Rp 20.000,-
BalasHapusBeruntungnya yg bisa beli dengan harga masih 20 ribu... tapi tak mengapa sayah bade ngempelkeun artosna heula, mugi kapeser ah...
BalasHapusMuhun kabayang ti harita inflasina sabaraha kali tikeleun.
BalasHapus