Penulis : Julius Pour
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun : 2009, Desember
Halaman: x, 437
Pada malam hari
tanggal 4 Januari 1946 satu rangkaian gerbong kereta api tanpa lampu berhenti
di belakang rumah Jl. Pegangsaan Timur No. 56. Kereta itu menjemput presiden
dan wakil presiden beserta keluarganya. Kemudian kereta api bergerak menuju
Jogyakarta. Dua hari kemudian Jogya diresmikan sebagai ibukota Republik
Indonesia.
Aksi Militer II
oleh Belanda dimulai pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 pukul 00.00.
Mereka menjepit dari segalah arah kekuatan Republik Indonesia (RI) di Jawa yang
sudah terkumpul di Daerah Istimewa Jogyakarta dan Karesidenan Surakarta.
Perancang operasi kilat Letnan Jenderal Simon Spoor, Panglima KNIL (Koninlijke
Nederlands Indisch Leger) merasa yakin dapat melenyapkan RI dalam sekejap, maka
aksi ini untuk konsumsi luar negeri mereka beri nama Aksi Polisional. Sebuah
aksi untuk menegakkan ketertiban dari gangguan pengacau keamanan. Operasi ini
diberi nama sandi “Kraai” (“kraai” dari bahasa Belanda yang artinya burung
gagak).
Operasi militer
oleh Belanda ini menyebabkan pertikaian di kalangan pemimpin sipil-militer RI.
Mengapa?
Kanjeng Raden
Tumenggung Soegito Hadipoero atau Julius pour seorang jurnalis mencoba
merekonstruksi kembali potongan-potongan kertas sejarah untuk melukiskan
peristiwa di seputar “Doorstoot naar Djokja” atau Aksi Militer Belanda II. Namun beliau
dengan rendah hati menyatakan masih banyak potongan kertas yang belum beliau
temukan.
Di setiap generasi
sesudah peristiwa tersebut selalu saja timbul pertanyaan mengapa para pemimpin
sipil membiarkan diri mereka ditawan oleh Belanda? Bukankah mereka menganjurkan
perang gerilya? Tetapi ketika waktunya tiba malah “menyerah”? Siapapun yang
membaca buku ini, yang menurut penulisnya adalah seperti menyusun “puzzle”,
dapat mencoba memahami lebih dalam sesuatu di balik peristiwa. Sedapat mungkin
penulis menyertakan latar belakang atau riwayat hidup singkat para pelaku di
seputar Aksi Militer II.
Bagaimana tidak
pihak militer geram? Seperti dikemukakan Kolonel AH Nasution dalam nota tanggal
5 Mei 1949 kepada Presiden Soekarno yang masih di pengasingan di Pulau Bangka, bahwa
para politikus lebih mementingkan kepentingan politik daripada kepentingan
militer. Demi perundingan RI harus mengosongkan sejumlah kota, menerima
gencatan senjata, dan “menghijrahkan” pasukan hingga mengantarkan ke peristiwa
19 Desember 1948 yang mengakibatkan ditawannya para pemimpin RI setelah
mengeluh tidak adanya jaminan keamanan dalam mengikuti perang gerilya (hal.
349).
Selain pertikaian
pemimpin sipil-militer ada juga beberapa pertikaian antar pemimpin sipil,
maupun antar pemimpin militer. Sudahlah kita digempur, malah di anatar kita pun
bertikai. Tentu peristiwa-peristiwa tersebut jarang bahkan mungkin tidak ada
dalam sejarah arus utama, apalagi yang sifatnya pribadi. Contohnya betapa
jengkelnya Presiden Soekarno menghadapi sindiran dan kritikan Sutan Sjahrir
ketika mereka bersama-sama dalam pengasingan di Brastagi bersama-sama Agoes
Salim.
Mungkin sub-bab
yang kita baca terasa “loncat” seperti sepenggal cerita Ben kecil (Benny
Moerdani) celingukan pada pengalaman perang pertamanya di umur 14 tahun waktu
Aksi Militer II. Sub-bab lain mengisahkan terselamatkannya bayi Wiranto.
Kedua-duanya kelak menjadi panglima dari seluruh tentara. Andaikata ada
ketidaknyamanan, penulisnya sudah minta maaf dari awal. Kesalahan bukan by design, tetapi mungkin salah comot
kertas, salah dalam mengutip pernyataan, atau menilai secara gegabah peran atau
sosok seseorang. Sebelum epilog, penulis dengan pintar meletakkan peristiwa
meninggal kedua panglima perang yang bermusuha. Secara mendadak arsitek
“Operatie Kraai” Letjen Simon Spoor meninggal karena sakit jantung pada Mei
1949, sedangkan Letjen Soedirman
meninggal Januari 1950. Tidak lama dari peristiwa “Doorstoot naar Djokja”.
Keduanya merasa “sakit hati” oleh ulah para politisi. Tanggal 1 Agustus 1949
diadakan gencatan senjata. Akhirnya Belanda mengakui kedaulatan RI tanggal 27
Desember 1949.
Pertanyaan yang
menarik selanjutnya apakah terusirnya Belanda dari Indonesia adalah perjuangan
militer atau perjuangan politik/diplomasi? Hal ini dijawab oleh Kolonel
Simatoepang yang menjadi sakasi dalam pertemuan anatar Letjen Soedirman dan
Presiden Soekarno di Istana Presiden di ruang yang sama 19 Desember 1948 dan 10
Juli 1949 dalam suasana yang berbeda (hal. 374-375).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar