Penulis : Her Suganda
Penerbit : PT Kompas Media Nusantara, Jakarta
Tahun terbit : 2007, November
Tebal Buku : xiv, 498 halaman
Kota Bandung jauh lebih muda dari Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, bahkan lebih muda dari beberapa kota lainnya di Jawa Barat. Namun perjalanan hidupnya sebagai sebuah organisma sangat menarik. Tahun 2010 kota ini akan genap berumur 200 tahun. Meskipun alm. Haryoto Kunto sudah banyak bercerita tentang Bandung dengan menulis buku maupun artikel yang tersebar di berbagai media, tetap saja masih mengasyikan membaca buku lain tentang Bandung.
Buku Jendela Bandung dibagi dalam tiga bagian. Bab pertama menceritakan sejarah geologi Bandung yang berawal dari sebuah dasar samudera yang dalam, kemudian sebuah danau, dan tidak lupa disajikan bukti-bukti kini yang masih dapat dijumpai untuk mendukung pendapat tersebut. Bukankah sangat menarik menceritakan sebuah kota yang sibuk dihuni oleh jutaan orang, tetapi dahulunya adalah dasar samudera yang dalam?
Bukit-bukit batu gamping di Padalarang menjadi bukti bahwa daerah ini dahulunya merupakan terumbu karang di pinggiran pantai. Sudah lama bukit-bukit ini digerus mesin industri kapur. Di sana terdapat Gua Pawon yang terkenal sebagai peninggalan manusia purba Bandung. Kerangka manusia purba tersebut belum lama ditemukan. Akankah monumen alam tersebut hilang oleh kepentingan ekonomi?
Kisah Bandung yang sangat dikenal umum adalah ketika dataran tinggi ini berupa danau. Panjang danau ini sekira 50 km dari timur ke barat (Nagreg-Padalarang) dan lebarnya 30 km dari utara ke selatan (Dago-Soreang). Banyak temuan purbakala yang diperoleh sepanjang pinggiran danau purba. Tentu saja danau ini sangat erat dengan legenda Sangkuriang. Legenda ini hidup di masyarakat Sunda yang hidup di Pulau Jawa bagian barat dan terus diceritakan dari generasi ke generasi. Inilah kearifan jaman dulu menceritakan keadaannya ketika belum ada perguruan tinggi jurusan geologi dan sejarah. Saya mendengar dari seorang sepuh konon katanya seorang geolog Belanda sampai menangis mendengar Cerita Rakyat Sangkuriang. Bahkan almarhum dua geolog terkemuka Prof H. Th. Klompe dan Prof. Adrian George de Neve sebelumnya mewasiatkan agar abu jenazahnya ditaburkan di Kawah ratu salah satu kawah Gunung Tangkubanparahu yang sangat erat kaitannya dengan cerita Sangkuriang.
Bab kedua mengisahkan Bandung tempo dulu dari sebuah dusun sunyi dan perintah dipindahkannya bandung dari Dayeuhkolot mendekati Jalan Raya Pos (Grote Postweg). Surat perintah pemindahan dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendels tertanggal 25 September 1810 kepada Bupati Wiranatakusumah II. Kini tanggal tersebut diperingati sebagai hari jadi kota Bandung.
Bab kedua terdiri dari beberapa bagian yang berkisah tentang gedung-gedung tua dan bersejarah serta orang-orang terkenal. Tempat-tempat seputar Bandung yang mempunya kaitan dengan tumbuhnya kota Bandung juga disajikan. Benar-benar kita diajak ke masa lampau.
Kota Bandung terus tumbuh seperti sebuah organisma hidup setelah di seputarnya didirikan perkebunan teh, kopi, kina, dan karet. Hotel Preanger bukti kejayaan para Preanger Planters, tempat menginap pengusaha perkebunan dari Priangan berkebangsaan Belanda. Mulai pertengahan abad 19 banyak dibangun gedung-gedung yang mempunyai langgam khas seperti langgam Ghotic, Empirestijl, dan Art Deco. Tahun 2001 dianugerahi predikat salah satu dari “10 World Cities of Art Deco”.
Bab ketiga memandu kita ke keadaan Bandung masa kini. Bandung selain pusat pendidikan, juga terkenal dengan aneka jenis makanan serta fesyen. Toko-toko yang menjual makanan khas sejak puluhan tahun silam masih banyak yang bertahan. Namun orang Bandung juga kreatif menciptakan olahan makanan baru. Saya pernah baca di internet seorang eksekutif muda sengaja nyetir sendiri ke kota Bandung untuk makan batagor (baso-tahu goreng). Pada lampiran disuguhkan secara lengkap alamat resto-kafe, tempat jajan, toko kue, FO (factory outlet), hotel, transportasi, tempat-tempat wisata seputar Bandung, dan diakhiri dengan daftar banguna kolonial di kota Bandung.
Sebagai sebuah buku panduan, buku dengan judul Jendela Bandung ini sudah memadai pada saat ini. Bersama buku ini disertakan pula peta jalan kota Bandung terutama arus searah yang sering dikeluhkan oleh para pendatang. Buku ini juga mempunyai Indeks yang jarang saya jumpai pada buku-buku berbahasa Indonesia.
Hanya saja di halaman 285 pada edisi buku yang saya peroleh terdapat keterangan gambar yang tertukar. Pada bagian atas terdapat foto Hotel Savoy Homann tetapi keterangannya Hotel Preanger dan di bawahnya foto Hotel Preanger keterangannya ditulis Hotel Savoy Homann. Kemudian ada penggunaan kata yang tidak tepat sebanyak tiga kali yaitu "reflaktor" seharusnya "refraktor" untuk menyebut teleskop refraktor ganda Zeiss yang ada di Observatorium Bosscha (hal. 291, 292, dan 295). Selain teleskop refraktor (teleskop bias) ada pula teleskop reflektor (teleskop pantul). Kesalahan cetak juga ada di halaman 34 mengenai goa Belanda di Dago Pakar yang dibangun tahun 1812 seharusnya 1912. Kesalahan-kesalahan ini mudah-mudahan dapat diperbaiki pada edisi selanjutnya. Namun semua itu tidak mengurangi buku ini sebagai panduan.
Bagi Anda yang ingin tahu seluk-beluk kota Bandung lebih jauh, mengapa tidak baca buku karya Her Suganda ini? Buku ini adalah buah kegiatannya selama menjadi koresponden Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar