Adsense

18 Jul 2008

GEDUNG KOLONIAL DI KOTA BANDUNG


Judul Buku : Balai Agung di Kota Bandung
Penulis : Haryoto Kunto
Penerbit : Granesia
Tahun terbit : 1996, April, cetakan ke-I
Tebal Buku : ix, 151 halaman
ISBN : 9.798.110

“Zorg, dat als ik terug kom hier een stad in gebowd”(Coba usahakan, bila aku datang kembali ke tempat ini, sebuah kota telah rampung dibangun).
H.W. Daendels, 1810

Buku ini disusun oleh alm. Haryoto Kunto dan diterbitkan oleh penerbit yang sama dengan buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya” yang diterbitkan sepuluh tahun sebelumnya dengan kualitas kertas yang lebih baik, mengkilap, sehingga foto-foto yang ditampilkan bagus pula. Buku ini bercerita tentang gedung-gedung peninggalan kolonial di kota Bandung, terutama Gedung Sate dan Gedung Pakuan. Saya yakin buku-buku beliau mempunyai andil dalam pemberian gelar kepada kota Bandung sebagai salah satu “10 World Cities of Art Deco”. Buku-bukunya memberi informasi kepada penduduk Bandung dan dunia bahwa di kota Bandung terdapat warisan masa lalu yang nilainya sangat tinggi dan harus dilestarikan.

Bandung hingga pertengahan abad ke-19 masih merupakan desa yang sunyi dan masuk wilayah Karesidenan Priangan. Karesidenan Priangan berdasarkan penetapan Gubernur Jenderal G.A. Baron van der Capellen tahun 1821 merupakan daerah tertutup bagi orang asing, kecuali yang telah mendapat izin dari Residen Priangan yang berkedudukan di Cianjur (hal. 3). Selama Cultuurstelsel (Tanam Paksa) Bandung merupakan tempat penimbunan dan pengangkutan hasil bumi dari Priangan. Kemudian tahun 1864 ibukota Karesidenan Priangan beralih dari Cianjur ke Bandung. Hingga abad ke-20 Bandung berkembang menjadi kota perkebunan. Komoditi teh, karet, kopi, dan kina dari Priangan salah satu pengisi pundi-pundi utama kolonial Belanda.

Yang menarik selain ibukota Karesidenan Priangan, Bandung juga sebuah kabupaten, tetapi tanggal 1 April 1906 di bagian tengah kota didirikan Gemeente yang berhak menyelenggarakan pemerintahan sendiri, tentu saja untuk melayani dan mengatur orang Eropa. Gemeente ini menjadi cikal bakal Kotamadya atau Pemerintah Kota. Tentu saja ini seperti duri ikan di tenggorokan Bupati. Anehnya pola pengembangan kota secara konsentrik ini masih diikuti oleh kita hingga sekarang. Akhirnya ibukota kabupaten yang melahirkan dan membesarkan kota harus pindah ke pinggiran. Pembagian yang tak adil.

Sejak tahun 1916 Bandung dipersiapkan menjadi ibukota Hindia Belanda dimulai dengan pemindahan beberapa jawatan seperti Jawatan Kereta Api, PTT (Pos, Telefon dan Telegraf), Pekerjaan umum, Geologi, dan Kantor Keuangan dari Batavia. Di dalam buku ini Anda dapat melihat bagaimana Hindia Belanda merancang dan menata gedung-gedung pemerintahan. Lokasi utama adalah Gedong Sate ke utara. Anda dapat melihatnya pada beberapa denah yang disisipkan di bagian tengah buku. Yang terlaksana hanya sedikit, akibat keuangan yang tidak mencukupi. Meskipun demikian gedung-gedung yang didirikan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjadi pusaka (heritage) saat ini dan masih tetap digunakan, karena perawatan yang baik.

Dalam buku ini disinggung beberapa gedung kolonial seperti:
Gedung Merdeka (Concordia, C.P. Wolff Schoemaker, 1920)
Hotel Savoy Homann (direnovasi A.F. Aalbers, 1939)
Gedong Sirap ITB (TH, Maclaine Pont, 1920)
SMAN 3 dan 5 (HBS, C.P. Wolff Schoemaker, 1927)
Bank Indonesia Cab. Bandung (Javashe Bank, E.H.G.H Cuypers, 1917)
Bekas Markas Polda Jabar (Olie Fabriek Insulinde, R.L.A Schoemaker, 1917)
Pabrik Kina Kimia Farma (BKF, 1896)
Mapolwiltabes Bandung (Kweekschool, diresmikan 1866)
Mesjid Agung Bandung
Kantor Pusat PT KA (Grand National Hotel, 1910)
Balaikota Bandung (Gedong Papak, E.H.de Roo, 1929)
Beberapa rumah tinggal karya arsitek Soekarno

dan masih banyak lagi yang lainnya. Tetapi yang dibahas secara mendalam adalah Gedong Pakuan dan Gedong Sate. Termasuk denah yang cukup rinci dan penelusuran siapa arsiteknya.

Gedong Pakuan mulai dibangun tahun 1864 untuk kediaman Residen Priangan yang seharusnya sudah pindah dari tahun 1856 dari Cianjur. Dalam buku ini tidak diketahui nama arsiteknya, hanya disebutkan Insinyur Kepala, staf dari Residen der Moore, itupun diketahui dari tulisan M.A.J. Kelling (1935). Setelah kemerdekaan gedung ini menjadi kediaman resmi Gubernur Jawa Barat. Gedung yang anggun berwibawa dengan gaya Indische Empire ini pernah disinggahi tokoh-tokoh dunia seperti Raja Siam (1901), PM Perancis (1920-an), Charlie Chaplin (1927), beberapa kepala negara pada waktu Konferensi Asia Afrika,dll. Namun keanggunan tempat kediaman resmi orang nomor satu di Jabar ini sekarang terganggu dengan berdirinya salah satu hotel di sebelah kiri depan yang melanggar batas tinggi gedung. Meskipun tanggung jawab Pemerintah Kota Bandung aneh gubernur tidak menyadari kejadian di depan matanya. Peristiwa itu menjadi ramai ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang sedang menuju Gedong Pakuan tahun 2005 pada peringatan KAA ke-50 menanyakan keberadaan pembangunan hotel tersebut. Sebutan “Gedong Pakuan” sebagai tempat kediaman resmi gubernur ini diberikan oleh istri R.A.A. Wiranatakusumah V atau Dalem Haji yang menempati gedung itu sebagai Wali Negara Pasundan.

Banyak orang menduga Gedong Sate (disebut demikian karena bagain atasnya ada penangkal petir berbentuk tusuk sate) adalah kediaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Gedung Sate dibangun untuk Departement V en W (Departemen Pekerjaan Umum). Sedangkan rencana gedung pemerintah pusat berada di hadapan Gedong Sate (perkiraan saya kini Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat). Di antara keduanya ada sebuah lapangan/taman dan di kiri kanan lapangan teletak rencana berbagai gedung pemerintahan lainnya. Dari Gedong Sate ke arah utara kita bisa memandang Gunung Tangkuban Parahu, sayang pandangan ke arah sana bagi saya ada yang tidak pas yaitu Gedung Pusat PT Telekomunikasi Indonesia. Gedong Sate seperti juga Gedong Sirap merupakan perpaduan langgam Barat dan Timur. Setelah melalui penelusuran mendalam Haryoto Kunto berpendapat arsitek Gedong Sate adalah Ir. J. Gerber. Gedong Sate yang digunakan Departemen PU pada tahun 1980-an beralih fungsi menjadi Kantor Gubernur Jawa Barat.

Mari kita pelihara peninggalan-peninggalan sejarah kota Badung ini. Jangan sampai kehilangan lagi seperti Gedung Singer tahun 1992. Karya arsitektur Bung Karno mendiang presiden pertama RI hanya ada di Bandung. Dari l.k. 35 bangunan, sudah banyak yang dirombak, dirobohkan, bahkan salin rupa (hal. 40). Jangan terjadi lagi.


Tak ada sebuah kota pun di negeri ini seperti Kota Bandung,
yang memberi kesempatan kepada arsitek,
sehingga karsa seninya dapat terwujud menjadi kenyataan.

(hal. 42, Dr. D.M.G. Koch, 1952)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar