Adsense

14 Mei 2008

MEMBACA BUDAYA PRIMORDIAL SUNDA


Judul Buku : Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir pantun
Sunda
Penulis : Jakob Sumardjo
Penerbit : Kelir, Bandung
Tahun terbit : 2003, Juli
Tebal Buku : xxvii, 364 halaman
ISBN : 979-97717-0-6

Jakob Sumardjo seorang Jawa menafsirkan pantun Sunda? Sebenarnya tidak harus menjadi aneh, karena ada juga peneliti berkebangsaan Belanda, Jepang, atau Amerika yang meneliti kebudayaan Sunda. Dengan demikian kita akan mengetahui bagaimana orang luar memandang kebudayaan Sunda tanpa pretensi apa-apa. Beliau telah lebih dari 40 tahun hidup di tatar Sunda, latar belakangnya sebagai seorang Jawa dan khazanah keilmuannya terutama kebudayaan sangat berguna ketika menerangkan gejala budaya Sunda ketika berada pada tataran yang sama dengan kebudayaan lain.

Penulis buku menggunakan pendekatan hermeneutik dalam mengkaji pantun. Sementara melepaskan diri dari nilai-nilai kini dan memasuki dunia pantun dengan tata nilai masyarakat yang menghasilkannya. Penulis mengaku belum pernah menonton pertunjukan pantun. Beliau hanya membaca cerita pantun dan transkripsi pantun terutama yang telah dikerjakan oleh Ajip Rosidi (1970). Diakuinya vokal juru pantun dan petikan kecapi pengiringnya akan membantu memperoleh makna pantun. Meskipun telaah hanya pada struktur pantun tetapi tidak mengurangi bobot buku ini. Dengan rendah hati Jakob menyebutkan bukunya lebih merupakan esai dari pada kajian ilmiah.

Pantun merupakan seni pertunjukan teater tutur. Teater tutur di Indonesia tersebar seperti kentrung di Jawa Timur, jemblung di Banyumas, warahan di Lampung, dingdong di Gayo, sinrili di Sulawesi Selatan, bakaba di Minangkabau dan lain-lain. Pantun dipertunjukan oleh seorang pencerita dan diiringi oleh instrumen musik tradisional suku.

Di Jawa Barat dan Banten juru pantun melantunkan sebuah kisah dengan diiringi instrumen musik kecapi. Umumnya pertunjukan pantun pada malam hari “di luar waktu” manusia (kegiatan manusia sehari-hari), yaitu “waktu suci”. Pertunjukan pantun terutama ditujukan untuk ruatan (upacara keselamatan). Hingga tahun 1950-an pantun masih sering dipertunjukan. Tetapi menjelang tahun 1970-an sudah jarang dipentaskan, sehingga banyak budayawan yang berusaha merekam dan mentranskripsi pantun-pantun. Juru pantun sudah sangat langka, karena generasi berikutnya sudah tidak tertarik.

Menurut arkeolog alm. Ayat Rohaedi, dalam naskah Sanghyang Siksa: Kanda ng Karesyan (1518) terdapat empat buah cerita pantun yaitu Siliwangi, Haturwangi, Banyakcitra, dan Langga-larang. Jadi sekitar tahun 1400 pantun ini sudah dikenal masyarakat Sunda. Dalam perjalanannya pantun mendapat pengaruh Hindu-Budha, dan Islam. Dalam rajah (doa atau mantra) misalnya terdapat alamat-alamat dunia atas seperti dewata dan pohaci (pantun Lutung Kasarung), batara-batari, dewa, dan Batara Guru (naskah Mundinglaya), nama-nama Allah, Nabi Muhammad, Rasul (naskah Sulanjana-Sri Sadana). Pengucapan ahung (aslinya aum) bisa sampai 40 kali, kadang diganti dengan astagfirullah aladzim empat kali. Ini menunjukan bagaimana pengaruh-pengaruh agama dalam seni pantun.

Buku ini meskipun sebagian isinya adalah esai-esai yang pernah dipublikasikan di media cetak, namun diramu kembali cukup apik. Tentunya tidak dapat dihindarkan adanya pengulangan. Buku ini dimulai dengan tulisan mengenai Pertunjukan Pantun dan Latar Belakang Sejarah Budaya Pantun. Layaknya sebuah kajian ilmiah Bab Empat disajikan Pandangan Dasar. Bab Lima menyajikan Tafsir Kosmologi Pantun yang ditarik dari beberapa pantun seperti Mundinglaya Di Kusumah, Ciung wanara, Nyai Sumur Bandung, Panggung Karaton, Lutung leutik, Kuda Wangi, Kidang Panandri, Gajah Lumantung, Lutung Kasarung, dan Sri Sadana.

Bab Enam berupa Tafsir Budaya Pantun. Penulis menarik maksud-maksud dari siloka pantun dengan piawai, apalagi beliau adalah dosen mata kuliah kebudayaan. Saya sering pula menemukan tulisan beliau mengenai sastra dan teater. Apa saja yang dijelaskan? Antara lain Sang Hyang Tunggal, Guriang Tunggal, Sunan Ambu, Pohaci, Lengser, Asas Tritangtu, Asas Dalam-Luar Budaya Sunda, Arketip kepemimpinan Sunda, kosmologi rumah Sunda, keraton Sunda dalam pantun, perempuan dalam masyarakat Sunda lama, dan kuburan kosong di Pasundan.

Jika Anda sama seperti saya yang orang Sunda, tetapi tidak tahu apa arti dan bagaimana menjadi orang Sunda namun ingin tahu kesundaan pasti akan tertarik dengan bab-bab di atas. Bagaimana kalau Anda meneruskan bacaannya ke Bab Tujuh? Judul bab ini adalah Membaca Budaya Primordial Sunda. Bab ini dibagi ke dalam bahasan mengenai topografi Sunda, habitat dan budaya, pola kampung dan rumah, religiositas Sunda, Sunda dan Islam, humor Sunda, akar budaya, dan alam pikiran mistis-spiritual.

Dalam pantun ditemukan pola tetap yang merupakan asas primordial Sunda yaitu tritangtu. Segala sesuatu terdiri dari dua kutub yang berlawanan dan berpotensi konflik, tetapi juga komplementer, saling melengkapi dan saling membutuhkan. Yang ketiga merupakan hasil perkawinan kedua kutub. Contoh “lelaki” dan “perempuan” perkawinannya menghasilkan “anak”. Perkawinan Dunia Atas (Buana Nyungcung) dan Dunia Bawah (Buana Larang) menghasilkan Dunia Tengah (Buana Panca Tengah). Asas yang sama juga ditemukan dalam masyarakat Batak dalihan na tolu, dan di Minang tigo sajarangan.

Artefak berupa peninggalan arkeologi secara fisik di Jawa bagian barat sangat minim sekali. Maka pantun Sunda dapat menjadi artefak budaya Sunda. Melalui dekonstruksi pantun kita berusaha menggali dan memahami akar budaya. Nilai-nilai mana yang harus ditinggalkan dan nilai-nilai mana yang patut dipertahankan kemudian ditransformasikan. Masyarakat di Nusantara mempunyai akar budaya yang berbeda di wilayahnya masing-masing dan semua ini harus bersatu. Dan persatuan itu adalah perkawinan nilai-nilai. Sama saja seperti pada Kebudayaan Barat apabila sudah berbicara falsafah hidup mereka akan meghadirkan kembali pemikiran-pemikiran Aristoteles, Socrates, Plato, dll yang hidup Sebelum Masehi. “Kita tidak dapat membangun masa depan tanpa mempertimbangkan akar. Karena akar itulah kekuatan kita. Hidup tanpa akar akan tumbang”. Demikian Jakob Sumardjo menutup bukunya.

Bagi saya buku ini adalah menggali kembali akar budaya Sunda melalui struktur pantun dan memberitahukan kepada generasi saya nilai-nilai apa yang terkandung di dalamnya. Agar transformasi nilai-nilai terjadi harus diupayakan penerbitan buku-buku semacam ini. Naskah-naskah yang tersimpan dalam lontar, janganlah hanya menjadi obyek kajian ilmiah semata bagi peneliti dan menyimpannya dalam rak-rak penelitian tanpa seluas-luasnya ditransformasikan kepada masyarakat pemilik kebudayaan. Sayang buku setebal ini tidak dilengkapi indeks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar