Adsense

19 Jul 2007

Menafsirkan Simbol-Simbol Leluhur

(Resensi ini pernah dimuat di cbn.net.id pada portal cybershopping-book review tahun 2004, kini saya mengarsipkannya pada blog saya)

Judul Buku : Hermeneutika Sunda: Simbol-Simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan
Penulis : Jakob Sumardjo
Penerbit : Kelir, Bandung
Tahun terbit : Pebruari 2004, Cetakan ke-1
Tebal Buku : xviii, 132 halaman

Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Hermeneutika mungkin pula diasosiasikan kepada Hermes sebagai utusan dewa Zeus yang mempunyai tugas khusus menyampaikan pesan yang masih dalam bahasa langit ke dalam bahasa yang dimengerti manusia. Jadi hermeneutika adalah filsafat dan atau metode penafsiran secara ilmiah.

Jakob Sumardjo mengkaji naskah Babad Pakuan yang ditranskripsi dari aksara Sunda-Jawa ke aksara Latin oleh Atja, Saleh Danasasmita, dan Nana Darmana (1977). Naskah tersebut ditulis pada 1862 berdasarkan naskah lebih tua yang ditulis tahun 1816 dan 1817 sewaktu pemerintahan Dalem Sumedang, Pangeran Kornel.

Guru Gantangan adalah putra Prabu Siliwangi dari salah satu istrinya Kentring Manik Mayang Sunda dari Nusa Bima. Guru Gantangan dilahirkan di Sindangbarang yang termasuk wilayah Sumedang Larang. Pola babad ini ada dua yakni pola vertikal-manusia sempurna dan pola horizontal-mandala kekuasaan.

Pada bagian pertama disebutkan asal-usul Jawa-Sunda. Seorang raja menikahi putri raja Mesir yang bernama Sri Putih. Keduanya kemudian menetap di pulau kosong dengan membawa seribu orang Mesir dan seribu orang Selan. Mereka membawa jawawut (tanaman padi-padian) untuk ditanam dan menjadi bahan makanan. Itu sebabnya pulau kosong tersebut dinamakan Jawa. Kerajaannya disebut Medang Kamulan. Kerajaan ini berpindah-pindah mengikuti pola perladangan jawawut. Kemudian terakhir menetap di Medang Agung Galuh. Terjadilah perpindahan dari pola perladangan ke pola persawahan.

Raja Galuh punya dua anak Aria Banga dan Ciung Wanara. Keduanya berebut tahta dan tidak ada yang menang ataupun kalah. Mereka teringat pesan ayahnya yang menjadi pertapa bahwa perang dengan saudara pamali. Akhirnya negara Galuh dibagi menjadi dua dengan pemisahnya Sungai Cipamali (Kali Brebes). Aria Banga menguasai Jawa bagian timur, keturunannya memerintah Jawa (Majapahit). Adiknya Ciung Wanara Jawa bagian barat yang kelak keturunannya memerintah Sunda (Pajajaran).

Tafsir cerita di atas menyiratkan pemahaman masyarakat Sunda bahwa Sunda dan Jawa masih bersaudara.. Selain itu masyarakat pada abad 19 masih mempercayai asal-usul mereka dari orang Timur Tengah dan India (Selan). Mereka berkeyakinan sejak awal sudah Islam meskipun tercampur agama-agama India. Akhir dari bagian pembukaan ini adalah silsilah raja-raja Pajajaran hingga Prabu Siliwangi ayah Guru Gantangan (GG).

Kisah selanjutnya adalah kepergian GG ke Dunia Bawah Laut kepada penguasanya Nagaraja. Kemudian menuju penguasa gua bumi, Jonggrang Kalapitung. Setelah dikawinkan dengan putri Dunia Bawah, Payung Kancana, GG menuju Dunia Atas, kepada Batara Guruputra Hyang Bayu. Di dunia ini GG dikawinkan dengan sembilan bidadari. GG warga Dunia Tengah (Pajajaran) menjadi warga Dunia Bawah dan Dunia Atas melalui perkawinan. GG kembali ke Dunia Tengah dan telah menjadi manusia sempurna.

Cerita berikutnya GG sebagai manusia sempurna membentuk negara baru, mandala kekuasaan di Dunia Tengah. Mula-mula GG mendatangi Nusa Cina yang berada di bagian hilir, kemudian ke Nusa Bali (hulu) dan Nusa Siem (tengah, di antara Nusa Cina dan Nusa Bali). Di Nusa Siem inilah GG diangkat menjadi penguasa. Tentu saja GG kawin dengan putri-putri keraton negeri-negeri tersebut.

Faham dualisme dan tripartit primordial Indonesia terus hidup dalam babad ini. Ada Dunia Bawah ada Dunia Atas. Ada Nusa Cina (hilir, profan) ada Nusa Bali (hulu, sakral), dan banyak lagi hal-hal oposisi dualisme lainnya. Transendensi adalah harmoni dari hal-hal imanen yang bertentangan tersebut, maka ada Dunia Tengah dan Nusa Siem. Jumlah tiga selalu muncul dalam babad ini. Gejala ini umum terdapat dalam masyarakat primordial perladangan di Indonesia.

Dalam masyarakat persawahan Indonesia prinsip dualisme dan tripartit ini tetap muncul, tetapi bukan dualisme tunggal melainkan ganda. Timur-barat dan utara-selatan, keempatnya disatukan dalam satu pusat (mancapat kalimo pancer). Arah utara-selatan melambangkan arah ruang rohani, karena negara-negara dibangun sepanjang sungai-sungai di Jawa yang sebagian besar mengalir dari selatan ke utara. Selatan adalah bagian hulu yang airnya bersih (sakral) dan utara bagian hilir, muara yang airnya keruh (profan). Timur berarti kelahiran dan barat berarti kematian. Apakah hal ini yang mendasari Pajajaran memilih Pakuan sebagai ibukotanya? Bukan Sunda Kalapa pelabuhan ramai dan tempat persinggungan dengan budaya luar. Antara Pakuan ke muara di utara ada tiga sungai. Di sebelah barat Keraton ada Sungai Cisadane, (sadhu = suci, bersih) dan di sebelah timur Sungai Cihaliwung/Ciliwung (haliwung = keruh). Sedangkan Sungai Cipakancilan membelah keraton sebagai Dunia Tengah dari dua sungai lainnya. Sungai Ciliwung dapat dilalui kapal-kapal niaga dari Sunda Kalapa. Begitu pula Majapahit tidak memilih pelabuhan Ujung Galuh sebagai ibu kotanya, tetapi di pedalaman, Trowulan. Masuk akal jika pemilihan ini karena khawatir terhadap serangan melalui laut.

Dari rekonstruksi cerita mungkin yang disebut Nusa Cina, Nusa Bali, dan Nusa Siem berada di sebelah timur Pasundan (Jawa Tengah), karena disebutkan GG pergi ke arah timur melewati Cirebon, Keling dan Brebes. Adapun penyebutan Cina dan Siem mungkin pengarang babad hanya pernah mendengar, tetapi tempatnya yang pasti tidak tahu.

Dari babad ini pula Jakob Sumardjo mengembangkan tafsir atas Kuta Pakuan yang digabungkan dengan sumber-sumber lain yaitu pantun-pantun Sunda, sumber Portugis dan Belanda (VOC). Hasil rekonstruksi peta kosmologis terdapat di hlm. 103, struktur kota Pakuan di hlm. 104, dan struktur keraton di hlm. 116. Tafsir dan rekonstruksi ini sangat menarik karena kerajaan Pajajaran tidak meninggalkan sisa-sisa yang “jelas” menunjukkan bekas keraton.

Babad Pakuan ini merupakan ingatan kolektif lisan masyarakat Sumedang terutama kaum menaknya terhadap budaya masa lampau leluhurnya (kerajaan Pajajaran runtuh tahun 1575). Mengapa GG? Karena GG lahir dari seorang perempuan dari Sumedang Larang. Semacam legitimasi bahwa kaum menak Sumedang mempunyai kaitan keturunan dari Pajajaran. Dengan berupaya merekonstruksi pemikiran-pemikiran nenek moyang kita dapat memahami mengapa keadaan masyarakat sepeti kita warisi sekarang ini. Untuk memahami mitos-mitos tersebut kita harus menempatkan sebagai mereka.
(Asep Suryana, peminat kebudayaan tinggal di Bandung)



5 komentar:

  1. Medang Agung yang dimaksud apakah medang Agung yang di sebut bujangga Manik?????

    BalasHapus
  2. Medang Agung yang dimaksud apakah medang Agung yang di sebut bujangga Manik?????

    BalasHapus
  3. Nama Medang terdapat/digunakan di Jawa Barat dan daerah Jawa Tengah dulu. Apalagi kerajaan yang menggunakan nama Medang sering berpindah-pindah akan meninggalkan beberapa tempat dengan nama Medang. Menurut saya nama Medang Agung (Galuh) di atas berbeda dengan yang ada di naskah Bujangga Manik baris ke-737 yang terdapat di Jateng. Kemungkinan Medang Agung tersebut bekas pusat negeri Kerajaan Medang (Mataram Kuno) yang diperintah oleh Wangsa Sanjaya. Sanjaya sendiri adalah keponakan Sena/Bratasena raja Galuh yang digulingkan oleh Purbasora. Sanjaya kemudian diambil menantu oleh Raja Sunda Tarusbawa (abad ke-8). Beberapa wilayah di Jawa Barat dulu yang menggunakan kata Medang a.l. Medang Kahiangan dan Medang Sasigar.

    BalasHapus