Adsense

26 Apr 2011

Braga, jalan yang punya cerita


Judul : BRAGA, Jantung Parijs van Java
Penulis : Ridwan Hutagalung, Tauffany Nugraha
Penerbit : Ka Bandung, 2008
Halaman : xvi + 168

Jalan Braga adalah salah satu nama jalan di tengah kota Bandung yang terkenal terutama pada awal abad ke-20. Jalan ini membentang dari selatan ke utara sejauh 800 m dari Jalan Asia Afrika (dahulu Groote Postweg) hingga Jalan Perintis Kemerdekaan. Rasanya tidak ada jalan lain di kota Bandung bahkan mungkin di Nusantara sebuah nama jalan dan kisahnya dibuat menjadi sebuah buku.

Jalan Braga berawal dari sebuah jalan pedati untuk mengangkut kopi dari sebuah gudang kopi yang terletak dekat dengan ujung Jalan Braga sekarang ke Jalan Raya Pos. Hingga tahun 1910 di kiri kanan jalan terdapat rumah-rumah dengan pekarangan yang luas. Meskipun ada toko, tetap letaknya menjorok agak ke dalam. Barulah pada tahun 1920-an dibangun trotoar yang lebar di kiri kanan jalan kemudian toko-toko berdiri pada sempadan trotoar tanpa menyisakan pekarangan. Toko-toko di sini menjual keperluan orang-orang Eropa yang bermukim di Bandung. baik keperluan sandang, restoran, dan gaya hidup umunya bercita rasa Eropa.

Sebutlah sebuah toko mode Au Bon Marche yang dibuka tahun 1913 selalu menyajikan mode terbaru dan mahal yang sedang 'trend' di Paris. Toko ini sering beriklan di media berbahasa Belanda dengan istilah-istilah Perancis sehingga berperan dalam pencitraan kota Bandung dengan sebutan Parijs van Java. Sayang gedungnya kini terbengkalai. Awal tahun 2011 atap gedung roboh karena lapuk atau bocor pada atap yang dibiarkan.

Untuk urusan perut tersebutlah Maison Bogerijen, kini masih ada bekasnya dengan nama restoran Braga Permai. Restoran ini didirikan tahun 1918 di sudut Jalan Braga dengan Jalan Lembong (dahulu Oude Hospitalweg) kemudian pindah ke bagian tengah Jalan Braga pada tahun 1923 hingga sekarang.Di sini disajikan beberapa menu khas Kerajaan Belanda.

Ada sekira 35 obyek yang disebutkan di buku ini mulai dari ujung selatan hingga utara ada berupa toko fesyen, bank, restoran, toko buku, show room mobil lengkap dengan tempat test drive, perkampungan, maupun lokalisasi bisnis syahwat kelas atas. Seolah-olah kita diajak berjalan kaki dari satu obyek ke obyek lainnya dan diceritakan mengenai sejarahnya. Gaya itu memang yang dilakukan para penulisnya dalam Komunitas Aleut (d.h. Klab Aleut) yaitu komunitas apresiasi sejarah dan wisata. Sayang dalam buku ini obyek-obyek tersebut tidak disebutkan rinci dalam daftar isi untuk memudahkan pencarian. Mereka ada di Bab Menyusuri Serpihan Jalan Braga halaman 27 kemudian tiba-tiba Bab Penutup halaman 149.

Buku ini dilengkapai pula dengan daftar pustaka dan indeks yang sangat saya hargai kepada para penyusun buku. Saya sependapat dengan penulis buku ini bahwa dengan dibuatnya buku Braga ini bukan untuk mengagung-agungkan atau mencontoh gaya hidup Eropa-Belanda, tetapi ada teladan bagaimana pengelolaan sebuah kota, tata kota dan peruntukannya.

Jalan Braga kini sudah kehilangan beberapa bangunan yang tergolong cagar budaya dan seharusnya dilindungi. Tanpa bangunan-bangunan ini jalan Braga kehilangan ruhnya. Berbagai festival dan acara lainnya yang diselelnggarakan bertema Braga atau dilangsungkan di jalan ini tidak bisa mengangkat pamor Jalan Braga ke tingkat jaman keemasannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar